Selasa, 14 September 2010

Adat Toraja

Pada mulanya kepercayaan masyarakat Toraja adalah kepercayaan animisme yang dikenal dengan sebutan Aluk Todolo (dialek Sillanan, Aluk Tojolo). Kepercayaan animisme adalah
Upacara adat di Toraja secara garis besar dibagi 2 (dua) yaitu rambu tuka’ dan rambu solo’, berikut ini penjelasan dari upacara adat tersebut:
A.     Rambu Tuka’
Rambu tuka’ adalah upacara adat yang dilakukan dalam rangka ucapan syukur atau menyembah Dewata (dewa). Rambu tuka’ dibagi dalam 3 (tiga) bagian yaitu aluk lolo tau, aluk lolo patua, dan aluk lolo tatanan. Berikut ini jenis-jenis upacara rambu tuka’ masyarakat Toraja pada masa lalu bahkan sampai saat ini;
a)      Pesta Pernikahan (rampanan kapa’ atau ma’pakawin), masyarakat Toraja pada umumnya sama dengan masyarakat lain, melakukan pernikahan putra-putri mereka. Tingkat-tingkat perkawinan di Tana Toraja lasimnya dilakukan menurut kasta atau tana’ dari kedua belah pihak yang dikawinkan itu tetapi pada dasarnya harus tunduk pada dasar atau kedudukan sang perempuan umpamanya seorang laki-laki berasal dari tana' bulaan dan kawin dengan perempuan asal tana' bassi, maka yang menjadi patokan dalam perkawinan ini adalah tana' dari pada perempuan dan nilai hukumnya adalah tana' bassi dengan 6 (enam) ekor kerbau Sangpala’.Demikianlah maka perkawinan itu dilakukan dalam 3 cara. Hai itu ditentukan oleh kemampuan dari yang mengadakan perkawinan dan ketiga cara ini tidak dititikberatkan pada adanya tana’ atau dengan kata lain cara kawin ini ditentukan saja oleh waktu perkawinan dan karena itu maka dikenallah tiga macam waktu serta menjadi pula tiga tingkatan masing-masing:
·        Perkawinan dengan cara sederhana yang dinamakan Bo’bo’ Bannang yaitu perkawinan yang dilakukan pada malam harinya dengan tamu-tamu hanya dijamu dengan lauk-pauk dengan menggunakan ikan-ikan saja, dan umumnya hanya pengantar laki-aki saja dua atau tiga orang yang juga sebagai saksi dalam perkawinan itu. Ada kalanya dipotong pula satu dua ekor ayam untuk jamuan dari pengantar laki-laki.
·        Perkawinan tingkat menengah yang dinamakan Rampo Karoen artinya perkawinan dilakukan pada sore harinya di rumah perempuan dengan mengadakan sedikit acara pantun-pantun perkawinan setelah malam pada waktu hendak makan dari wakil-wakil kedua belah pihak dihadapan saksi-saksi adat yang mendengar pula keputusan hukum dan ketentuan-ketentuan perkawinan yang selalu berpangkal dari nilai hukum tana’ yang sudah dikatakan diatas. Pada perkawinan Rampo Karoen ini dipotong seekor babi untuk menjadi lauk pauk para tamu-tamu yang hadir dan pemerintah adat itu disamping ayam sesuai dengan kemampuan dan banyaknya yang hadir.
·        Perkawinan tingkat tinggi dengan acara yang dinamakan Rampo Allo yaitu perkawinan yang diatur atau dilaksanakan pada waktu matahari masih kelihatan sampai malam dengan mengurbankan 2 (dua) ekor babi dan ayam seadanya sebagai syarat tetapi boleh juga lebih dari pada itu sesuai dengan kemampuan dari keluarganya. Perkawinan yang dikatakan Rampo Allo itu memakan waktu agak lama tidak sama dengan cara perkawinan yang disebutkan di atas, maka perkawinan demikian itu umumnya dilakukan oleh keluarga Tana' Bulaan yang berkesanggupan tetapi kasta Tana' Bassi sangat jarang melakukannya apalagi Tana' Karurung dan Tana' Kua-Kua .
Sebelum sampai kepada hari inti perkawinan jikalau cara rampo allo, harus melaksanakan beberapa hal sebagai acara pendahuluan dalam perkawinan tersebut yaitu:
§         Umpalingka Kada, artinya mengirim utusan dari pihak laki-laki kepada pihak perempuan untuk berkenalan dan mencari tahu apakah ada ikatan perempuan itu, dan menyampaikan akan ada hajat melamar
§         Umbaa Pangngan artinya mengatur dan mengantar daun sirih, pinang dan kapu’ dengan mengirim utusan laki-laki yang membawa panggan tersebut yang dibungkus dalam satu tempat yang dinamakan Solong (pelepah pinang), yang mula-mula diantar oleh tiga orang perempuan yang langsung disampaikan pada ibu atau nenek dari sang perempuan. Cara mengantar pangan ini dilakukan 3 kali baru mendapat kepastiannya yang jalannya sebagai berikut:
§         Mengutus 4 (empat) orang dengan 3 (tiga) perempuan sebagai pernyataan lamaran.
§         Mengutus 8 (delapan) orang sebagai pernyataan pelamar datang menunggu jawaban pinangan.
§         Mengutus 12 (dua belas) orang sebagai tanda bahwa  lamaran yang sudah diterima dan utusan datang atas nama keluarga akan membicarakan waktu dan tanggal perkawinan, dan pada waktu itu utusan sudah boleh datang di rumah pengantin perempuan
§         Urrampan Kapa’ artinya membicarakan tana’ perkawinan untuk  menentukan besarnya hukuman yang akan dijatuhkan sesuai dengan tana’ keduanya jikalau ada yang merusak rumah tangga dibelakang hari yang dinamakan Kapa’
§         Dinasuan / dipandanni langngan artinya perkawinan sudah berjalan dan sudah memakan makanan pada rumah masing-masing keduanya berganti-ganti dan telah mengadakan pengiriman makanan dalam dua buah bakul dan dipikul dengan penggali, dan bakul ini dinamakan Bakku’ Barasang. Pada kesempatan ini wakil dari laki-laki yang dinamakan  To Umbongsoran Kapa’ hadir bersama-sama dengan wakil dari perempuan yang dinamakan To Untimangan Kapa’. Kedua belah pihak berganti-ganti mengucapkan syair dan pantun perkawinan dan mengungkap pula bagaimana mulianya perkawinan atau Rampanan Kapa' pada mulanya dihadapi oleh Puang Matua (Sang Pencipta) di atas langit serta mengungkap pula bagaimana perkawinan raja-raja dahulu kala yang harus menjadi contoh kepada manusia-manusia yang berasal dari kasta bangsawan/Tana' Bulaan.
§         Sesudah tiga hari, maka tiba pada hari acara makan balasan di rumah laki-laki untuk mengakhiri perkawinan damn melaksanakan yang dikatakan Umpasule Barasang yaitu bakul berisi makanan yang telah dibawa oleh wakil perempuan ke rumah laki-laki, kini dikembalikan ke rumah perempuan dan inilah yang dikatakan Umpasule Barasang. Bakku Barasang ini berisi makanan yaitu nasi dan daging babi serta beberapa bentuk kiasan (anak babi, kerbau, ayam, dll) yang dibuat dari tepung beras namanya Kampodang, yang setibanya di rumah perempuan akan dimakan pula bersama, dan sesudah makan bersama, keluarga-keluarga pihak laki-laki kembali dan laki-laki tinggallah terus di rumah perempuan/orang tua perempuan.
Dalam perkawinan di Tana Toraja sudah dikatakan bahwa tidak ada kurban persembahan dan kurban sajian, karena babi yang dipotong oleh keluarganya itu hanya semata-mata menjadi lauk-pauk bagi seluruh orang yang hadir pada perkawinan itu serta diberikan kepada pelaksana upacara perkawinan seperti anggota dewan adat, wakil keluarga, serta saksi-saksi lainnya, yang pada waktu acara makan disusunlah Pinggan Adat namanya Dulang yang berisi nasi dan daging babi yang disusun atau disediakan menurut tingkat kasta yang kawin, yang pada waktu melihatnya terus diketahui bahwa orang yang kawin ini berasal dari kasta Tana' Bulaan ataukah Tana' Bassi dan dibawah ini susunan dulang dari Tana' Bulaan yaitu Rampanan Kapa' Rampo Allo sebagai berikut:
§         Dua Dulang untuk pengantar kedua belah pihak atau wakil dari kedua mempelai.
§         Dua Dulang untuk orang yang membawa kayu bakar dan orang yang datang membawa sirih pinang.
§         Dua Dulang untuk wakil orang tua kedua belah pihak.
§         Dua Dulang dari ketua adat sebagai saksi dan mensahkan rampanan kapa' (perkawinan).
§         Satu Dulang untuk tempat makan bersama kedua mempelai dan pada saat makan bersama mempelai perempuan menyuapi mempelai laki-laki dan sebaliknya, kemudian seluruh hadirin makan bersama dari masing-masing dulang tersebut.
Penyusunan dulang seperti di atas adalah untuk perkawinan dari kasta tana' bulaan dengan susunan 9 (sembilan) dulang. Dengan adanya perkawinan semacam ini, maka sering pula terjadi pelanggaran-pelanggaran dalam hubungan baik sebelum kawin atau pun sesudah kawin sampai terjadi perceraian, maka diantara suami isteri itu salah satunya yang membuat pelanggaran mendapat hukuman menurut hukum perkawinan yang sudah tertentu yang didasarkan pada nilai hukum Tana; dan hukuman yang dijatuhkan itu dinamakan kapa’, yang jumlah kapa’ itu sama dengan nilai Tana’ dari yang akan dibayar dan bukan berdasar pada nilai hukum tana’ yang bersalah. Penentuan hukuman dengan nilai hukum tana’ adalah dilakukan oleh dewan adat yang diumumkan dalam satu sidang atau musyawarah adat dimana hadir kedua suami isteri serta keluarga kedua belah pihak. Pelanggaran di dalam hubungan adat perkawinan di Tana Toraja antara lain:
·        Songkan Dapo’, artinya bercerai/pemutusan perkawinan yaitu yang bersalah dapat dihukum dengan hukuman kapa’ dengan membayar kepada yang tidak bersalah sebesar nilai hukum tana’ yang telah disepakati pada saat dilakukan perkawinan dahulu.
·        Bolloan Pato’, artinya pemutusan pertunangan yang sudah disahkan oleh adat yang dinamakan To Sikampa (to = orang; sikampa = saling menunggui) dan setelah menunggu saatnya duduk bersanding makan dari dulang (rampanan kapa' ), maka yang sengaja memutuskan pertunangan itu tanpa dasar harus membayar kapa’ kepada yang tidak bersalah sesuai dengan nilai hukum tana’nya, kecuali jikalau terdapat pertimbangan lain dari pada dewan adat.
·        Unnampa’ daun talinganna, artinya orang yang tertangkap basah, maka laki-laki itu harus membayar kapa’ kepada orang  tua perempuan jikalau tidak dapat dikawinkan terus seperti karena halangan kastanya tidak  sama atau dilarang oleh adat, dan perempuan juga harus mendapat hukuman tertentu pula jika kastanya lebih tinggi dari laki-laki.
·        Unnesse’ Randan Dali’, artinya laki-laki membuat persinahan dengan perempuan yang lebih tinggi kastanya, maka laki-laki itu dihukum dengan membayar kapa’ sesuai dengan nilai hukum tana’ dari perempuan.
·        Unteka’ Palanduan atau Unteka’ Bua Layuk yaitu perempuan kasta tingkat tinggi kawin dengan laki-laki kasta tingkat rendahan. Keduanya ada hukumnnya seperti hukuman Dirampanan atau Diali’.
·        Urromok Bubun Dirangkang, artinya bersinah dengan perempuan janda yang baru meninggal suaminya dan belum selesai diupacarakan pemakaman suaminya, maka laki-laki itu harus membayar kapa’ dengan nilai hukum tana’ perempuan karena tak dapat dkawinkan sebelum upacara pemakaman dari suami perempuan itu, kecuali menunggu sampai upacara pemakaman dari suami perempuan itu selesai tetapi sebelum kawin harus mengadakan upacara mengaku-aku lebih dahulu dan kapa’ yang dibayar itu diterima oleh keluarga dari suami perempuan janda itu.
b)      Upacara ucapan syukur yang dibagi dengan berbagai kriteria:
·        Ma’bugi’ adalah upacara adat yang dilakukan di padang setelah selesai melakukan panen raya. Dalam prosesi upacara adat tersebut ada beberapa hal yang digunakan sebagai alat yaitu tabang, manuk, bara api.
·        Mangrara banua adalah upacara adat yang dilakukan dalam rangka ucapan syukur atas selesainya tongkonan (rumah adat) dibangun atau dipugar, yang dirayakan oleh rumpun keluarga dari tongkonan tersebut. Proses upacara dilakukan disekitar halaman tongkonan, disekeliling rumah dibuat lantang (pondok sementara yang terbuat dari bambu), yang diberi hiasan kain berwarna merah. Lantang tersebut ditempati oleh rumpun keluarga yang diurut berdasarkan keturunan. Proses mangrara dimulai dengan hadirnya anggota keluarga dengan membawa babi, yang dibuatkan tandu dikenal dengan istilah lettoan. Lettoan tersebut dipikul oleh anggota keluarga dari satu nenek. Biasanya lettoan dibuat dari bambu, yang berbentuk rumah adat masyarakat Toraja atau berbentuk kandang kecil. Lettoan diberi hiasan kain (mawa’), pedang (penai), keris (gajang), tabang daun aren mudah (daun induk). Setelah semua rumpun keluarga mulai masuk halaman rumah adat yaitu Tongkonan yang akan dirara, diringi dengan penyebutan nama keluarga tersebut dari protokol atau tomenawa. Bila semua rumpun keluarga tersebut telah berkumpul di halaman rumah tongkonan, babi-babi yang ada di lettoan dikeluarkan dan dibunuh dengan menusukkan pisau di sampingnya yang dikenal dengan istilah ma’tibok. Babi-babi yang telah mati dibersihkan kemudian dibakar dan dimasak dibambu bersama dengan daun mayana dengan istilah ma’piong oleh sebagian anggota keluarga dari masing-masing turunan. Sambil menunggu hingga masak sebagian anggota keluarga melakukan tarian di halaman tongkonan dengan mengeluarkan suara berdasarkan syair yang dilontarkan oleh salah seorang pemandunya. Kata-kata syair tersebut disusun berdasarkan tata bahasa adat Toraja dengan bahasa kiasan yang mengandung makna yang sangat dalam. Tarian tersebut dikenal dengan istilah ma’bugi’. Setelah rangkaian ma’bugi’ dilanjutkan dengan mengungkapkan silsila keluarga dari masing-masing rumpun yang diwakili oleh salah seorang anggota keluarga yang dikenal dengan istilah massalu nene’. Selanjutnya dilakukan pembakaran daging babi di atas atap tongkonan yang dibuka, hingga menetes sampai ke lantai tongkonan.

Tingkatan aluk rambu tuka’ atau aluk rampe matallo, Adapun tingkatan upacara rambu tuka’ dari yang terendah sampai yang tertinggi adalah sebagai berikut :
·        Kapuran Pangngan yaitu suatu cara dengan hanya menyajikan Sirih Pinang sementara menghajatkan sesuatu yang kelak akan dilaksanakan dengan kurban – kurban persembahan.
·        Piong Sanglampa, yaitu suatu cara dengan menyajikan satu batang lemang dalam bambu dan disajikan di suatu tempat atau padang/pematang atau persimpangan jalan yang maksudnya sebagai tanda bahwa dalam waktu yang dekat manusia akan mengadakan kurban persembahan.
·        Ma’pallin atau Manglika’ Biang, yaitu suatu cara dengan kurban persembahan satu ekor ayam yang maksudnya mengakui semua kekurangan dan ketidaksempurnaan manusia yang akan melakukan kurban persembahan selanjutnya.
·        Ma’tadoran atau Menammu, yaitu suatu cara dengan mengadakan kurban persembahan satu ekor ayam atau seekor babi yang ditujukan kepada pemujaan deata–deata terutama bagi deata yang menguasai daerah tempat mengadakan kurban persembahan itu. Ma’tadoran juga dilakukan jika melaksanakan upacara Pengakuan Dosa yang disebut Mangaku–aku.
·        Ma’pakande Deata do Banua (mengadakan kurban persembahan di atas Tongkonan). Nama Upacara ini berbeda di tiap daerah adat tetapi pada dasarnya memiliki tujuan yang sama yaitu dengan kurban persembahan seekor babi atau lebih sesuai dengan ketentuan dari masing-masing daerah adat. Uapcara ini dilaksanakan di atas Tongkonan karena Tongkonan sebagai tempat hidup manusia yang mengadakan kurban persembahan dan tujuannya memohon berkat atau bersyukur atas kehidupan dari Sang Pemelihara atau Deata-Deata dan juga sebagai tempat menghajatkan kurban persembahan. Ada daerah adat yang menyebut upacara ini sebagai Ma’parekke Para.
·        Ma’pakande Deata diong padang (mengadakan upacara di halaman Tongkonan), yaitu upacara kurban seekor babi atau lebih yang dilaksanakan di halaman Tongkonan dari orang  yang mengadakan upacara. Tujuan upacara ini adalah memohon kepada Deata-Deata supaya memberkati seluruh tempat atau Tongkonan tempat orang merencanakan dan mengusahakan kurban persembahan seterusnya serta tempat mendirikan Tongkonan. Ada daerah adat yang menamakannya sebagai Ma’tete Ao’.
·        Massura’ Tallang adalah upacara yang dilaksanakan setelah selesai melaksanakan tingkatan upacara yang lebih rendah seperti tersebut di atas. Upacara ini dilaksanakan di depan Tongkonan agak sebelah timur. Upacara Massura’ Tallang merupakan upacara persembahan paling tinggi kepada Deata-Deata sebagai Sang Pemelihara dengan kurban beberapa ekor babi, dimana sebagian untuk persembahan dan sebagian lagi untuk dibagikan menurut adat kepada masyarakat dan orang yang menghadiri upacara tersebut utamanya kepada petugas adat dan agama Aluk Todolo. Upacara Massura’ Tallang ini dapat dilakukan oleh seluruh keluarga dari satu rumpun keluarga atau boleh juga satu keluarga dalam mensyukuri kebahagiaan keluarga itu, dimana dalam pembacaan Doa dan Mantra Sajian Kurban telah diungkapkan pula keagungan dan kebesaran Puang Matua. Oleh karena itu, upacara Massura’ Tallang berfungsi sebagai upacara pengucapan syukur karena keberkatan dan upacara penahbisan atau pelantikan arwah leluhur yang diupacarakan dengan upacara pemakaman Dibatang atau Didoya Tedong. Dengan selesainya upacara ini, maka arwah dari leluhur secara resmi menjadi Setengah Deata yang disebut Tomembali Puang (Sang Pengawas atau Pemberi Berkat manusia turunannya). Upacara demikian disebut Manganta’ Pembalikan Tomate, dan disebut demikian karena pada upacara ini diaturkan dekorasi hias bermacam-macam pakaian dan perhiasan sebagai lambang dan perlengkapan hidup dari sang leluhur di alam baka.
·        Merok, yaitu upacara pemujaan kepada Puang Matua sebagai upacara pemujaan yang tinggi dengan kurban Kerbau, Babi dan ayam. Pada upacara ini nama Puang Matua yang selalu jadi pokok ungkapan dalam pembacaan mantra dan doa. Kerbau yang dikurbankan pada upacara Merok ini adalah kerbau hitam (Tedong Pudu’), karena tidak boleh menyajikan kurban kerbau yang memiliki bintik putih yang dianggap sebagai kerbau yang cacat. Sebelum kerbau ini dikurbankan dengan menggunakan Tombak (dirok bahasa Sillanan diraok), terlebih dulu kerbau ini disurak (didoakan dalam suatu ungkapan hymne yang isinya menceritakan kemuliaan Puang Matua dan segala ciptaannya serta kehidupan manusia dan mengutuk pula perbuatan yang tidak baik dari manusia yang disyaratkan dengan pernyataan melalui kurban kerbau tersebut). Dan pelaksanaan pembacaan hymne semalam suntuk oleh Tominaa disebut Massurak Tedong atau Massomba Tedong, yang mana dalam Massomba Tedong ini diungkapkan tujuan dari keluarga mengadakan upacara Merok.
Adapun maksud dari upacara Merok ini adalah :
·        Merok karena keberkatan.
·        Merok untuk pelantikan atau peresmian arwah seorang leluhur menjadi Tomembali Puang yang upacara pemakamannya dilakukan dengan upacara Rapasan oleh Kasta Tana’ Bulaan. Upacara ini disebut Merok Pembalikan Tomate.
·        Merok dalam hubungan dengan selesainya pembangunan Tongkonan yang disebut Merok Mangrara Banua, dan upacara ini hanya bagi Tongkonan yang berkuasa seperti Tongkonan Layuk atau Tongkonan Pesio’ Aluk. Pada upacara ini banyak babi yang dikurbankan yang sebagian dibagikan secara adat. Ada beberapa daerah adat yang menyebut upacara ini dengan Ma’bate.
9)      Ma’bua’ atau La’pa, yaitu suatu tingkatan upacara Rambu Tuka' yang paling tinggi dalam Aluk Todolo. Upacara ini dilaksanakan setelah menyelesaikan semua upacara-upacara yang terbengkalai oleh keluarga atau daerah yang mengadakan upacara Ma’bua’ tersebut. Hal ini karena upacara Ma’bua’ adalah upacara untuk mengakhiri seluruh upacara apapun dalam mensyukuri seluruh kehidupan dan mengharapkan berkat serta perlindungan dari Puang Matua, Deata-deata, dan Tomembali Puang. Upacara Ma’bua’ juga sebagai ungkapan syukur atas hewan ternak, tanaman dan kehidupan manusia. Pada upacara Ma’bua’ atau La’pa, Puang Matua dipuja dan dieluk-elukkan dengan beragam lagu dan tari yang memang khusus diadakan untuk upacara Ma’bua’ tersebut. Pada upacara Ma’bua’ diadakan kurban persembahan kerbau sebagai kurban persembahan utama yang jumlahnya bermacam-macam menurut ketentuan Lesoan Aluk Tananan Bua’ tergantung pada masing-masing daerah adat atau tergantung pada kemampuan keluarga. Ada kalanya Ma’bua’ ini diikuti oleh satu daerah adat atau kelompok adat jika upacara ini menyangkut seluruh masyarakat satu daerah serta keselamatan seluruh kehidupan dan disebut sebagai Bua’ kasalle atau La’pa Kasalle (Bua’=perbuatan, la’pa=kelepasan, kasalle=besar). Upacara Ma’bua’ ini adalah pusat dari semua upacara serta puncak dari semua upacara dalam Aluk Todolo yang juga merupakan dasar pembagian daerah adat Tondok Lepongan Bulan menjadi 3 daerah adat besar berdasarkan Lesoan aluk tananan Bua’.

B.      Rambu Solo’
Adalah sebuah upacara pemakaman secara adat yang mewajibkan keluarga yang almarhum membuat sebuah pesta sebagai tanda penghormatan terakhir pada mendiang yang telah pergi.
Tingkatan upacara Rambu Solo
Upacara Rambu Solo terbagi dalam beberapa tingkatan yang mengacu pada strata sosial masyarakat Toraja, yakni:
·        Dipasang Bongi: Upacara pemakaman yang hanya dilaksanakan dalam satu malam saja.
·        Dipatallung Bongi: Upacara pemakaman yang berlangsung selama tiga malam dan dilaksanakan dirumah almarhum serta dilakukan pemotongan hewan.
·        Dipalimang Bongi: Upacara pemakaman yang berlangsung selama lima malam dan dilaksanakan disekitar rumah almarhum serta dilakukan pemotongan hewan.
·        Dipapitung Bongi:Upacara pemakaman yang berlangsung selama tujuh malam yang pada setiap harinya dilakukan pemotongan hewan.
Upacara tertinggi
      Biasanya upacara tertinggi dilaksanakan dua kali dengan rentang waktu sekurang kurangnya setahun, upacara yang pertama disebut Aluk Pia biasanya dalam pelaksanaannya bertempat disekitar Tongkonan keluarga yang berduka, sedangkan Upacara kedua yakni upacara Rante biasanya dilaksanakan disebuah lapangan khusus karena upacara yang menjadi puncak dari prosesi pemakaman ini biasanya ditemui berbagai ritual adat yang harus dijalani, seperti : Ma’ tundan, Ma’balun (membungkus jenazah), Ma’roto (membubuhkan ornamen dari benang emas dan perak pada peti jenazah), Ma’ Popengkalao Alang (menurunkan jenazah ke lumbung untuk disemayamkan), dan yang terkahir Ma’ Palao (yakni mengusung jenazah ketempat peristirahatan yang terakhir). Berbagai kegiatan budaya yang menarik dipertontonkan pula dalam upacara ini, antara lain :
  • Mapasilaga tedong (Adu kerbau), kerbau yang diadu adalah kerbau khas Tana Toraja yang memiliki ciri khas yaitu memiliki tanduk bengkok kebawah ataupun kerbau yang berkulit belang (tedang bonga), tedong bonga di Toraja sangat bernilai tinggi harganya sampai ratusan juta; Sisemba’ (Adu kaki)
  • Tari-tarian yang berkaitan dengan ritual rambu solo seperti: Pa’Badong, Pa’Dondi, Pa’Randing, Pa’Katia, Pa’papanggan, Passailo dan Pa’pasilaga Tedong; Selanjutnya untuk seni musiknya: Pa’pompang, Pa’dali-dali dan Unnosong.;
  • Ma’tinggoro tedong (Pemotongan kerbau dengan ciri khas masyarkat Toraja, yaitu dengan menebas kerbau dengan parang dan hanya dengan sekali tebas), biasanya kerbau yang akan disembelih ditambatkan pada sebuah batu yang diberi nama Simbuang Batu.
Kerbau Tedong Bonga adalah termasuk kelompok kerbau lumpur (Bubalus bubalis) merupakan endemik spesies yang hanya terdapat di Tana Toraja. Ke-sulitan pembiakan dan kecenderungan untuk dipotong sebanyak-banyaknya pada upacara adat membuat plasma nutfah (sumber daya genetika) asli itu terancam kelestariannya. Menjelang usainya Upacara Rambu Solo’, keluarga mendiang diwajibkan mengucapkan syukur pada Sang Pencipta yang sekaligus menandakan selesainya upacara pemakaman Rambu Solo’.

Sejarah Kabarasan

Kabarasan adalah sebutan bagi tongkonan di Sillanan yang mempunyai peranan sebagai pemegang kekuasaan di Ma'duangtondok (Tongkonan Karua dan Tongkonan A'pa') serta merupakan bagian dari Tongkonan Karua. Kabarasan berawal dari Tongkonan Buntu Topamaling yang konon dibawa oleh Tinti riBuntu,sampai turunan-temuruan, kemudian kabarasan tersebut berpindah ke Sangtanete Lalanan yang dipegang oleh So' Manaran (Pong Paarak), kemudian dibawa oleh Pong Arruan ke Tongkonan Doa', dan terakhir dibawa Boroallo ke Tongkonan Pangrapa' (sampai saat ini sudah menetap di Pangrapa'). Berdasarkan sejarah tersebut, berarti Kabarasan (Pemerintahan) di Sillanan, bukan turun temurun tetapi secara Politik. Kabarasan mempunyai peranan memagang pemerintahan di Ma'duang Tondok sampai saat ini, contoh konkrit: Jika ada orang yang meninggal di Ma'duang Tondok sampai saat ini dan dipotongkan kerbau minimal 2 (dua) ekor (imbawa kaju kepangka). Maka 1 (satu) kepala kerbau harus dibawa ke Kabarasan (saat ini Tongkonan Pangrapa')yang disebut tila', untuk dibagi-bagi oleh keturunan dari Tongkonan Pangrapa'. Sumber: Dari berbagai orang tua di Sillanan (edit: Leman). Pendapat lain seperti komentar di bawah.

Tongkonan Nosu

Tongkonan Nosu

Tongkonan Nosu adalah termasuk "Tongkonan Karua", di Kampung Sillanan - Kec. Gandangbatu Sillanan. Tongkonan Nosu mempunyai peranan sebagai to intoi masakka'na (memegang peranan sebagai yang berperan jikalau ada acara-acara atau kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat Sillanan, misalnya syukuran panen. Tongkonan Nosu didirikan (umpalumbang batu) oleh To Ro'po dan To Rempo. Tongkonan Nosu mempunyai sawah (warisan) yang secara khusus tidak boleh ditanami padi sembarang harus padi jenis Kasalle dan Pulu' (sejenis beras ketan).

Rabu, 01 September 2010

Kampung Sillanan

Sillanan adalah sebuah kampung di Kabupaten Tana Toraja, terletak di Kecamatan Gandangbatu Sillanan. Nama Sillanan di gunakan sebagai nama lembang (desa), serta sebuah sekolah dasar yaitu SDN No. 151 Sillanan. Di Sillanan terdapat tongkonan yang dikenal dengan istilah "Tongkonan Karua" (Delapan Tongkonan). Tongkonan tersebut mempunyai peran dalam masyarakat adat setempat. Tongkonan Karua terdiri dari: Pangrapa', Sangtanete Jioan, Nosu, Sissarean, Tomentaun, To'barana' digente' Rompona Langsa', To'lo'le Jaoan, dan Karampa' Pangla Padang.
Sedangkan tongkonan yang tidak masuk dalam Tongkonan Karua adalah merupakan Tongkonan dengan fungsi khusus dan tongkonan tumpu. Tongkonan fungsi khusus yaitu Tongkonan Maruang Banua Sura', Tongkonan Doa' (Pa'palumbangan), Tongkonan Indo' Piso atau Tomanyampan digelar "To Ma'kararona Aluk sola Pemali To Dipalisu Sanda Pati'na".